-- --> Skip to main content

KH. Abdullah Sajad Sendangguwo Semarang

Terletak di Kecamatan Tembalang, dengan luas wilayah 327,72 Ha, Kelurahan Sendangguwo berbatasan wilayah sebelah utara dengan Kec. Pedurungan, sebelah selatan dengan Kel. Tandang, sebelah barat dengan Kec. Semarang Selatan, dan sebelah timur dengan Kel. Kedungmundu. Kel. Sendangguwo berada tidak begitu jauh dengan pusat pemerintahan kecamatan, yakni sekitar 08 KM. Kemudian, terdapat 10 RW dan 116 RT, berikut dengan 7.400 KK; jumlah laki-laki sebanyak 10.934 jiwa, dan jumlah perempuan sebanyak 10.976 jiwa, sehingga total penduduk kelurahan mencapai 21.910 jiwa.


Berdasarkan laporan monografi Kel. Sendangguwo, tanah eks bondo desa tercatat seluas 08 Ha, tanah yang bersertifikasi 1.174 buah, sementara tanah yang belum disertifikasi tidak disebutkan dalam laporan. Mata pencaharian penduduk pun bervariasi, antara lain buruh industri (4.177 orang), buruh bangunan (3.519 orang), PNS (599 orang), pedagang (598 orang), dan sebagainya. Selanjutnya, penduduk dengan tamatan SD (bagi umur lima tahun keatas) masih mendominasi di lingkungan Sendangguwo dengan jumlah 4.551 orang, sedangkan penduduk tamatan SLTA berjumlah 3.799 orang, dan tamatan SLTP berjumlah 3.174 orang. Adapun penduduk yang tamat perguruan tinggi berjumlah 1.033 orang, dan jumlah penduduk yang tamat akademi yaitu 1.076 orang.
Dalam bidang peternakan, terdapat 10.171 bibit lele, 179 ekor ayam kampung, 24 ekor kambing, dan 10 ekor sapi. Pengembangan bibit lele dinilai cukup efektif karena tidak memerlukan lahan yang luas dibandingkan hewan ternak lain, sehingga bibit lele pun dapat dijadikan sebagai alternatif mata pencaharian warga. Sementara dibidang pertanian, bulan ini tercatat ketela pohon dengan luas tanaman akhir dan luas yang dipanen seluas 300m2, dan pisang seluas 400m2.
Kelurahan Sendangguwo pun memiliki perumahan dan komplek pemukiman. Perumahan yang dikategorikan sebagai rumah permanen berjumlah 2.761 buah, rumah semi permanen berjumlah 1.328 buah, dan rumah nonpermanen berjumlah 317 buah. Lalu, jumlah perumahan yang terdapat di kelurahan yakni 420 unit, dengan luas tanah 08 Ha.
Di Sendangguwo sendiri, dipercayai bahwa daerah tersebut pernah menjadi tempat singgah (petilasan agung) Sunan Kalijaga, tepat di punden Guwo. Salah satu murid Sunan Kalijaga (Nyai Rebon) yang konon berasal dari Cirebon pun menetap, hingga Beliau wafat dan dimakamkan di RT 01 RW 01, Kelurahan Sendangguwo.
Perjuangan KH. Abdullah Sajad
Dahulu, Sendangguwo Semarang pasca meletusnya perang jawa mengalami krisis ulama’, meskipun sebelumnya disinyalir sudah pernah ada tokoh penyebar islam di Semarang, akan tetapi berkuasanya belanda di Semarang menjadikan porsi penduduk abangan berlimpah dan kaum santri mencari tempat pelosok untuk mengajarkan agama islam. Sehingga sendangguwo yang memiliki 2 spot tempat sacral menjadi salah satu wahana yang rutin dipakai untuk praktik kesyirikan. Terutama mengeramatkan Sendangguwo yang dulu berbentuk sebuah sendang (tempat pemandian-Red) dan di tengah sendang itu terdadat sumber air berbentuk gua di dasar air. Konon, tempat itu didiami oleh banyak makhluk halus. Karena itu, tidak banyak yang berani mengambil air di tengah-tengah sendang tersebut. Pada umumnya warga sekitar takut celaka, karena kualat. Konon, setiap Jumat malam sering terdengar suara lesung yang dipukul bertalu-talu. Anehnya, ketika didengar secara seksama, suara itu hilang. Sekitar 500 meter sebelah barat sendang, terdapat sebuah gua yang sangat panjang. Masyarakat mempercayai gua itu berujung sampai ke daerah Kaliwungu, Kendal. Masyarakat sering memberi sesaji di dua tempat itu untuk meminta berkah dan dijauhkan dari segala macam bencana.
Tekad KH. Abdullah Sajad
Di tempat itu juga, sering digelar kebiasan buruk yang jauh dari nilai-nilai Islam. Setelah mengadakan pesta dan tari-tarian tayub, kemudian dilaksanakan pertandingan pencak dan minum-minuman keras. Tradisi ini berlangsung secara turun-temurun hingga kedatangan KH. Abdullah Sajad.
KH. Abdullah Sajad adalah seorang pemuda alim bergaris keturunan kerajaan Mataram Kartasura Beliau bernama KH. Abdullah Sajad bin KH. Ahmad Rifa’i bin KH. Abdul Rahman bin KH. Muhyidinirrofi’i (Loning Purworejo) bin KH. Nur Iman (Mlangi) putra Amangkurat IV, dari beliau silsilah berlanjut sampai pada Brawijaya V), KH. Abdullah Sajad adalah putra dan cucu dari darah ulama' sekaligus pejuang pasukan Diponegoro bernama KH. Ahmad Rifa'i dan cucu seorang Panglima perang laskar Diponegoro bernama KH. Abdul Rahman, ayahandanya pemimpin misi pembobolan benteng ungaran pada saat Pengeran Diponegoro ditahan di sana (meskipun belum berhasil), sedangkan kakeknya komandan pertempuran dalam serangan 1825 di perbatasan semarang-demak dg kekalahan dipihak belanda dan inggris sebagaimana terekam dalam surat kabar bahasa perancis (Journal de la Province de Limbourge, 1826) , kemudian beliau ikut diasingkan belanda ke tondano minahasa Sulawesi Utara sebagaimana terekam dalam Surat dari Menteri Negara Komisaris Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur Jenderal Belanda (sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia) bersama rombongan tokoh-tokoh Kyai penggerak perang jawa diantaranya Kyai Mojo.
Dan beliau juga merupakan sepupu dan juga santri terdekat KH. Sholeh Darat, ulama kharismatik yang juga intelektual muslim penyebar agama Islam abad ke-18 di Semarang. Melihat kondisi masyarakat Sendangguwo yang begitu parah, dia merasa tertantang untuk berdakwah agama, dan memperbaiki moral dan akhlak masyarakat sekitar. Dia kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat itu.
Terdengar pula sebuah cerita tentang kesaktian KH. Abdullah Sajad, suatu ketika dia ditantang oleh seorang jawara yang memiliki ilmu berkelahi dan ilmu kanuragan tinggi. Dia memerintah muridnya yang bernama Ma'ruf, agar menghadapi sang jawara itu. Hasilnya, Ma'ruf berhasil mengalahkannya. Dengan demikian, banyak masyarakat sekitar yang segan dan menghormatinya. Dan kisah selain itu juga terdengar santer bahwa yang menutup sendang keramat yang digunakan sebagai media kemusyrikan umat juga beliau. Dengan cara beliau riyadhoh kepada Allah Swt. Puasa beberapa hari dan sendang tersebut ditutup memakai batang sodo lanang (1 buah batang daun kelapa yang jatuh menancap tanah) dengan membaca do’a “Laa Ilaaha Illa Anta Yaa Hayyu Yaa Qayyum, Yaa Hannanu Yaa Mannanu Yaa Dayyanu Yaa Sulthon”. Selang beberapa hari Masjid beliau pada waktu jam 03.00 pagi terdapat pujian do’a itu dan anehnya yang membacakannya adalah jin penunggu sendang tersebut. Sehingga pujian ba’da shubuh tersebut sampai sekarang masih sering dilantunkan di Masjin Jami’ As-sajad.
Mbah Kyai Sajad mengajar agama Islam di masjid yang beliau dirikan, dan selanjutnya berkembang menjadi sebuah pondok pesantren. Namun sangat sulit mendapatkan informasi tentang siapa para santri saat itu. Walaupun demikian menurut Kiai Muzayyin yang pernah diberitahu bapaknya KH. Muhammad Dimyati, beberapa orang disebut antara lain masyarakat lingkungan sekitar dan santri yang datang dari daerah lain seperti KH. Abdul Manan dari Banyuwangi, yang konon sering diperintah membawakan tasbih Mbah Kiai Sajad, dimasa hidupnya kemudian terkenal sebagai kiai tarekat.
Kiai Abdullah Sajad mempunyai dua orang istri yakni Karsanah dan yang kedua tidak jelas namanya. Dengan Karsanah mempunyai tujuh orang anak yakni:
1. Nyai Aisyah menjadi istri KH. Munawir, yang mendirikan pondok pesantren di sebelah utara tempat KH. Abdullah Sajad. Sekarang namanya di abadikan sebagai nama Pondok Pesantren Salafiyah al-Munawir.
2. KH. Muhammad Dimyati, lahir tahun 1896 ia yang melanjutkan dan membesarkan pesantren bapaknya. Mengasuh pesantren sejak umur 22 tahun, sejak KH. Abdullah Sajad wafat pada Senin Wage 16 Agustus tahun 1918.
3. Agus Zuhdi (wafat usia muda)
4. Kholil (wafat usia muda)
5. KH. Abdullah Daenuri (1904 – 1971 M) beliau melanjutkan menjadi pengasuh pesantren semenjak kakaknya KH. Muhammad Dimyati wafat pada tahun 1955.
6. KH. Masyhudi.
Dari keturunan istri pertama ini para cucunya terus bergiat dalam mengabdi dan membina masyarakat. Diantara mereka beberapa yang mendirikan pondok pesantren. Sampai sekarang ini tercatat pondok pesantren senasab Mbah Kiai Sajad secara kronologis adalah:
a. Ponpes Ad-Daenuriyah I, pesantren perintis, sekarang di asuh KH. Afif Abdullah, putra pertama KH. Abdullah Daenuri.
b. Ponpes Salafiyah Al-Munawir, didirikan oleh menantu Mbah Kiai Sajad, sepeninggal Kiai Munawir, diasuh oleh menantunya Kiai Abdussamad, sekarang diasuh generasi cucu antara lain K. Ahmad Rifai dan KH. Ahmad Baidlowi.
c. Pondok Pesantren AL-Ibriz, didirikan oleh KH. Shonhaji Abdullah, putra Kiai Abdullah Daenuri sekarang di asuh para anaknya.
d. Pondok Pesantren Ad-Daenuriyah II, didirikan oleh KH. Dzikron Abdullah, putra KH. Abdullah Daenuri.
Beliau aktif sebagai Rois Syuriyah Idaroh Wustho Jawa Tengah dan merangkap sebagai Rois III Idaroh Aliyah Jam'iyyah Ahli Thoriqoh Mu'tabaroh An-nahdliyyah (JATMAN), pengasuh Mujahadah I'timad Ihsanillah yang dihadiri ribuan jama'ah dan juga sebagai Mursyid Akbar Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah.
e. Pondok Pesantren As-Sajad, termuda, didirikan oleh K. Najib Abdullah, putra KH. Abdullah Daenuri.
Dari istrinya yang kedua mempunyai satu orang anak, salah seorang anaknya yang menurunkan keturunan sampai sekarang adalah Qomariah, cucunya KH. Imran kini mendirikan Pondok Pesantren Yatim Piatu di daerah Penggaron, Pedurungan Semarang.
Peninggalan-Peninggalan Islam di Situs Sendangguwo :
1. Masjid Berumur Lebih Satu Abad
Tidak dapat diketahui persis kapan masjid ini berdiri, tetapi yang jelas ia merupakan bukti dakwah Islam di wilayah Semarang 'bentangan' Timur sejak satu abad yang lalu. Mesjid As-Sajad (demikian sekarang masyarakat menyebut) didirikan oleh KH. Abdullah Sajad, mungkin sekitar akhir abad 19. Karena menurut penuturan dari para keturunannya seperti telah saya uraikan.
Disamping mendirikan masjid KH. Abdullah Sajad juga mendirikan Pondok Pesantren yang terletak di depan masjid. Masjid, pesantren, rumah kiai, memang merupakan ciri utama sebuah bangunan pondok pesantren. Sepeninggal KH. Abdullah Sajad pesantren tersebut dilanjutkan oleh putranya KH. Muhammad Dimyati mungkin kurang lebih sejak tahun 1918 - tahun wafat KH. Abdullah Sajad - sampai wafatnya tahun 1955
Menurut penuturan K. Muzayyin putra KH. Dimyati, ayahnya mulai mengajar di pensantren sejak umur 22 tahun. Beliau lahir kurang lebih 1896 karena menurut penuturan beliau sendiri pada saat hujan abu 1901 KH. Dimyati berumur 5 tahun. Dengan demikian maka meninggalnya KH. Abdullah Sajad kurang lebih tahun 1918-an. Selanjutnya diteruskan adiknya KH. Abdullah Daenuri sampai wafatnya sekitar tahun 1970-an. Tetapi bangunan tua pesantren itu kini telah tidak ada. Walaupun demikian tidak berarti pesantren itu telah punah sama saekali. Sampai sekitar tahun 1970-an masih tetap ada. Para Santrinya datang dari berbagai daerah di Jawa. Kini walaupun ditempat pesantren tua telah hilang, namun di sebelahnya juga masih berdiri bangunan pondok Pesantren Addaenuriyah I yang dikelola oleh KH. Afif Abdullah cucu KH. Abdullah Sajad. Bahkan sejak tahun enam puluhan pesantren tersebut dikembangkan lebih lanjut, tidak hanya mengelola pondok pesantren dengan sistem salaf, tetapi juga membuka Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yang menggunakan sistem pendidikan formal.
Pindahan Dari Karangturi
Menurut penuturan K. Muzayyin yang mendapat cerita dari ayahnya , masjid Jami' As-Sajad merupakan pindahan dari masjid yang dulu terletak di daerah Karangturi Semarang. Memang tidak jelas apakah pindah dalam arti memindah keseluruhan bangunan, atau hanya kayu-kayunya bekas perbaikan dari Masjid di Karangturi tersebut. Tetapi pemindahan tersebut atas saran dari KH. Saleh Darat yang melihat potensi santrinya yang maju dan melihat daerah Sendang Guwo yang rawan terhadap masalah kemusyrikan. Sehingga KH. Abdullah Sajad diperintahkan untuk berdakwah di daerah Sendang Guwo.
2. Jadwal Sholat tahun 1900
Jadwal Sholat tahun 1900 di Masjid As-Sajad Sendangguwo. Karya KH. Dahlan Termas juga menantu KH. Soleh Darat. Jadwal ini menggunakan angka dan huruf Arab. Bahasa Jawa. Menggunakan patokan tahun walandi (Belanda). Terbingkai pada kayu jati. Ukuran panjang/panjang 45cm X lebar 37 Cm
Bukti otentik yang di buat tahun 1318 Hijriyah yang berarti 1900, sampai sekarang masih tetap bertengger di masjid tersebut. Jelas bertenggernya jadual solat tersebut merupakan bukti otentik bahwa masjid ini didirikan sebelum tahun 1900 yang berarti telah berumur lebih dari satu abad. Dalam jadual tersebut tertulis:
“ Nahmadullah wa 'aunihi fi lailatis sabti naslakhu rabi'utsani sanah 1318 hijriyah, al muwafiqu 25 agustus sanah (tidak tampak) miladiyah 'ala yadil 'abdiz dzalil Ahmad Dahlan Darat Samaran ghafarallahu lahu wali jami'il muslimin”.
Sedangkan dibawahnya lagi tertulis dengan tulisan arab pegon, Iki jadwal wektu kanggo Semarang tumeko sak pengetane lan sak pengulone lan negoro kang marek-mareki Semarang ing dalem arah ngalor ngidule kaurutaken runtute wulan walandi kerono arah ora suloyo saben-saben tahun.....”
KH. Ahmad Dahlan, penulis jadual tersebut adalah murid sekaligus menantu KH. Saleh Darat menikah dengan putrinya yang berasal dari istri ketiga R. Siti Aminah bernama Zahroh. KH. Ahmad Dahlan berasal dari Termas, Pacitan Jawa Timur.
Menapaki usianya yang sudah lebih dari satu abad masjid As-Sajad telah mengalami beberapa renovasi. Renovasi terbesar mungkin sekitar tahun 1960-an dengan bangunan model susun tiga bagian atap, dengan sebuah menara yang menjulang tinggi bangunan khas zaman Belanda dan kemudian terakhir adalah tahun 1999.
Dari masjid dan pesantren tersebut agama Islam secara pelan namun pasti mendapat dukungan dari masyarakat yang disiarkan secara turun temurun oleh para keturunan KH. Abdullah Sajad. Sehingga daerah Sendangguwo yang dimasa lalu sangat kental dengan mistik dan kemusyrikan, dapat menerima ajaran Islam, demikian menurut penuturan KH. Afif Abdullah.
3. Al-Qur’an Tulisan Tangan
Al-Qur’an tulisan tangan ini peninggalan K.H Abdullah Sajad, Sendangguwo Tembalang, tidak jelas ditulis tahun berapa. Beberapa halaman depan dan belakang telah hilang. 15 baris tiap halaman
4. Kaligrafi Arab/Doa akan berkhutbah
Kaligrafi Arab, doa orang yang mau khutbah supaya tidak grogi. Kaligrafi ini tertempel di Masjid As-Sajad Sendangguwo Tembang. Ditulis tahun 1941 sebagaimana tertulis dalam kaligrafi ini. Ukuran 28,5 X 15 Cm
5. Mustaka Panah Arjuna dan Menara
Mustaka Masjid As-Sajad Sendangguwo yang lama. Tidak jelas tahun berapa, namun menurut dugaan sama dengan tahun kaligrafi do’a, kurang lebih zaman Jepang. Mustaka Panah ini terbuat dari seng, dengan model kemuncaknya anak panah. Ukuran tinggi 234 Cm, lebar 81 Cm. Disamping itu masjid ini juga memiliki keunikan bentuk menara.
6. Pedang suduk maru kartasura, tongkat komando perang laskar diponegoro
7. Kitab-kitab Lama
- Kitab Ilmu Rubuk dan Pedoman Penentuan Kiblat
Naskah tulisan tangan ini terdiri atas 2 kitab, penentuan rubuk dan kitab penentuan kiblat, ukuran 21,5 X 17 Cm dengan ketebalan 33 halaman. Naskah menggunakan bahasa Arab makna gandul berbahasa Jawa. Kemungkinan ditulis akhir abad 19.
- Kitab Tafsir Faidurrahman KH. Saleh Darat
Kitab ini mulai ditulis pada tanggal 20 Rajab 1309 H, selesai ditulis pada tanggal 7 Muharram 1311 H/ 1893/94 M dan dicetak pada tanggal 29 Jumadi Al-Akhir tahun 1311 H oleh percetakan Haji Muhammad Amin Singapura Kitab ini meskipun baru selesai pada jilid pertama Surat Al-Fatehah dan Al-Baqoroh, namun cukup tebal. Ada 577 halaman, ditulis dengan huruf Arab Pegon
- Serat Fatimah Pegon
Kitab yang cukup tebal ini tertulis dalam kolofon ditulis di Rembang. Menggunakan model tembang macapat. Tebal 486 halaman. Ukuran naskah 26,5 X 17 Cm, dengan ketebalan 5,5 Cm.
- Naskah Kitab Fathul Qodir
Naskah Kitab Fathul Qodir, tidak jelas tulisan siapa, kemungkinan tulisan KH. Sonhaji Abdullah atau KH. Abdullah Daenuri. Kitab ini aslinya karya KH. Maksum bin Ali Kuwaron Diwek Jombang.
Di tulis Oleh Ustadz Faishol. Dzurriyat sekaligus ustadz di ponpes Addainuriyah Dua
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar